sambil dengerin ini biar ga bosen :D
Mendekati akhir tahun, premis yang cocok untukku adalah menghirup udara segar di kala riuhnya kembang api dan sorak sorai tepuk tangan. Aku duduk di depan teras rumah, memulai pergantian tahun dengan menulis di catatan kecil, tentang tujuh alasan mengapa aku kini sudah siap memulai hidup yang baru.
Pertama, aku sudah lupa kapan terakhir kita bertemu!
Bagian pertama dari tulisan ini adalah kalimat klise dari seseorang yang baru saja mengakhiri hubungan yang sangat lama. Satu dekade mungkin?
Desember tahun lalu saat salju turun di pelataran kedai kopi di Busan, adalah tempat kita terakhir kali bertemu sebagai pasangan. Ingatkah kamu kita berjalan mengitari kota yang selama ini hanya ada di dalam benak dan wishlist yang kamu tulis di notes, kini menjadi realita yang tampak seperti fatamorgana.
Kamu tertawa dengan lepas saat kita menaiki sepeda sejauh tiga kilometer. Aku ingat.
‘Eh, ini kita dimana? Awas nyasar tau! Hape kita uda lowbatt, nanti nggak bisa buka maps, lho!’ katamu
Aku cuma bisa nyengir tipis. Kita akhirnya berhenti di persimpangan. Terdiam sejenak diantara salju-salju yang tampak indah jatuh di pelupuk matamu.
Begitu optimisnya diriku meyakini kita akan abadi kala itu.
Aku masih ingat.
Kedua, aku bisa melalui hari tanpa mengingat namamu!
‘Selamat ya, Zan & Istri! Bahagia selalu, ya.’
Sahabatku sejak SMA baru saja menikah. Dekorasi yang serba putih seakan memberi tanda kalau diriku juga sudah siap membuka lembaran kosong yang baru, tanpa ada bercak tinta kesedihan.
Namun, aku memakai setelan serba hitam hari itu. Sial.
‘Thanks, Bro! Lo kenapa pake gelap-gelap gini, deh? Kan udah gue kasih tau hari ini kita pake all-white? Masi galau lo ya?’
Aku hanya tertawa kecil dan bergegas pulang ke rumah setelah menyalami kedua mempelai. Masihkah aku terkunci di halaman yang rusak?
Diantara keheningan, aku mengingat namamu lagi…
Ketiga, aku sudah membuang semua barang pemberianmu.
Tiga hari lagi aku berangkat ke Semarang, ada urusan kerja disana. Aku sibuk mengemas barang-barang,
‘Baju empat cukup deh kayanya, lagian cuma dua hari.’ kataku
Koper usang berwarna hitam itu sudah kupakai sejak aku SMP. Walau uangku cukup untuk beli koper baru, rasanya sayang saja meninggalkan koper yang menemaniku entah sudah ratusan tempat, mungkin?
‘Oke lengkap! Oh, iya obat asma gue belom deng.’
Saat aku memasukkan obat ke kantong depan, ada kertas di sana.
‘’24 seems like a lucky number, happy birthday to u, xo.’’
Kertas cokelat dengan perangko Harry Potter itu adalah curahan hatimu selama ini saat hari ulang tahunku yang ke 24, haha. Mulai dari nasihat untuk diriku agar lebih dewasa hingga jenis kelamin apa anak kita saat sudah menikah.
Aku nggak bisa berlagak lupa surat apa itu. Aku pun nggak bisa menaruhnya di tempat sampah semudah itu.
Kenapa semua memori tentangmu selalu ada disaat yang nggak terduga, sih?
Keempat, aku benci masakan buatanmu.
Akhirnya break makan siang pun datang.
Aku hendak ke kantin gedung di lantai tiga. Soto ayam sepertinya cocok disandingkan dengan es teh manis di hari yang terik ini.
Pemandangan kantin selalu menjadi favorit. Orang-orang disana sangat ramah, makanannya enak-enak, dan tak lupa, bisa ngutang!
‘Eh, Mas, makan apa nih sekarang? Ibu lagi masak ikan kuah kuning. Mau?’
‘Mau soto ayam aja, Bu. Aku lagi nggak mau makan nasi.’
‘Takut nggak abis aja, tadi pagi sarapan soalnya.’ kataku
‘Oh, iya. Masakan pacarnya Mas keliatannya enak. Dia juga sering ngobrol sama Ibu. Dia nggak kesini, toh, Mas?’
Aku lupa, aku selalu makan bekal buatanmu.
Bekal yang berbeda-beda tiap harinya selalu aku bawa ke kantor. Kamu bisa masak semuanya. Aku pernah sengaja request bikin steak medium rare. Sengaja biar kamu nggak buatin aku pagi itu, karena aku lagi bosan dan mau beli diluar aja. Kamu ternyata bisa dan itu adalah steak terenak yang pernah aku makan.
Kelima, aku sudah menghapus playlist kita berdua.
Hari ini aku lagi pengen keluar sekalian buat Work From Cafe. Nggak usah rapih-rapih, aku dikenal cukup simple dalam berpakaian.
Kaos oblong, celana pendek, sepatu slip-on adalah hidup.
Sebenarnya itu ada alasannya, sih. Dua tahun lalu aku pernah ketinggalan pesawat cuma karena bingung memilih baju. Hahaha.
Saat sampai di kedai kopi, americano selalu menjadi pilihan.
Lima menit saat sudah membayar dan menunggu, aku lalu duduk di pojok, membuka laptop dan melihat apa saja yang harus selesai hari ini.
Kafein sangat membantu dalam hal apapun. Semua jadi serba cepat.
Saat aku selesai bekerja, dan bersiap meninggalkan kedai kopi,
Aku mendengar sesuatu yang nggak asing di telinga.
Back to December dari Taylor Swift, ternyata.
Aku tersenyum tipis dan membuka pintu mobil.
Keenam, aku bisa suka sama orang lain lebih cepat darimu!
Sudah hampir dua tahun sejak kita berpisah, mencoba mencari cinta yang baru tidak ada salahnya, bukan?
Aku mencoba mendekati salah satu staf di kantorku. Dua minggu pun berlalu, dia seru diajak ngobrol. Mulai dari urusan kerja, politik, hingga hal-hal yang nggak aku sangka dia juga bisa tau.
Nggak ada yang salah dengannya, tapi.. aku ingin merasa sesuatu yang aku selalu rasakan dulu — bisa merasakan perasaan bergetar setiap kali melihat matanya, atau bisa tersenyum saat mendengar dia bercerita tentang sesuatu yang dia suka.
Aku lelah berbohong dengan diri sendiri.
Ketujuh, aku benci kesempatan kedua.
Setiap orang pasti punya prinsip yang ia pegang teguh. Sebisa mungkin, nggak akan dia langgar seumur hidupnya. Kalau ditanya prinsip apa yang aku pegang dari dulu, aku benci kesempatan kedua. Entah aku yang diberi, atau aku yang memberi.
Setelah hal aneh yang terjadi padaku belakangan ini, aku berubah pikiran.
Aku ingin tahu kabarmu lagi. Aku lalu scroll kontak di handphone-ku, berharap masih ada namamu disana.
Dan, ya, masih ada.
Talisa.
‘Halo, Apa kabar?’