ihsan
1 min readSep 15, 2023

Rambutku masih basah, bersiap berangkat disaat semuanya masih tertidur lelap.

Tanganku yang lemah ini selalu aku pastikan nggak akan pernah istirahat, karena sejak beberapa tahun belakangan, tangan inilah yang membuatku dan kedua adikku masih bisa hidup.

beep! beep!

Bunyi token yang sudah nyaris habis itu membuat diriku tersadar dari lamunan saat sedang menutup pintu depan dan akan memakai sepatu.

Langit masih sangat muram dan seakan memberi tanda kalau sepertinya aku terlalu cepat (lagi).

‘Lebih baik terlalu cepat ‘kan daripada terlambat?’ ujarku dalam hati

Aku tidak suka dengan terlambat, walaupun juga tidak asing dengan itu.

Andai saja ayahku nggak terlambat hari itu, mungkin mereka (ayah dan ibuku) sekarang masih ada disamping kami.

Andai saja aku terlambat mengerti mengapa harus aku yang menanggung ini semua, mungkin kami sudah menganggap kalau bertahan hidup cuma jadi pilihan, bahkan cenderung lebih memilih mati saja.

Aku terlambat tahu kalau hidup ini nggak selamanya seenak kita menunggu di meja makan, bermain di lapang yang luas, tertawa saat ayah menggelitik perut, dan tertidur pulas saat ibu membacakan dongeng.

Aku terlambat tahu kalau ada saatnya giliran kita datang, dan tidak ada jalan untuk mundur dari sana.

Kalau terang selalu dirindukan gelap, maka begitu pun bahagia selalu dirindukan gelisah.

Memikirkan apa yang akan terjadi kedepan, dan menerka batu karang apalagi yang sedang dalam perjalanan menemui kami.

Ah, aku memikirkan ini semua (lagi) setiap bersiap untuk memulai hari.

‘Aku pergi ya, adik-adik!’

Segera kukayuh sepeda butut peninggalan ayah. Selamat berjalan, diriku.

ihsan
ihsan

Written by ihsan

a heartbreak lover probably?

No responses yet