Menjelang anniversary pacaran kita yang ke-6, aku punya kejutan yang serius untukmu.
Aku sudah membeli cincin yang dibeli dari tabunganku yang tidak seberapa.
Aku — sambil tersenyum-senyum sendiri — bahkan sudah membayangkan bagaimana rupa anak kita berdua kelak.
Aku sudah siap melalui hari-hari yang penuh senyum dan bahagia!
Pukul enam lima belas, aku masih ingat.
Tanganmu menolak sodoran cincin pemberian dariku.
‘Maaf, aku nggak bisa.’ katamu.
Kau menolak untuk melangkah ke jenjang lebih serius.
Segala kemungkinan buruk sudah aku perkirakan, tapi aku nggak menyangka kalau aku sudah gagal di awal.
Semua hal-hal pahit sudah siap untuk aku hadapi, lalu kenapa kau tega membiarkan diriku tenggelam sebelum saatnya tiba?
Dari segala takdir baik yang menanti, kenapa kau mendorongku ke lembah yang sangat dalam bernama patah hati?
Kini, enam bulan setelah momen itu, aku ingin tahu kabarmu lagi.
Pesan-pesan tak terbaca darimu, aku buka dengan menarik nafas dalam-dalam.
Isinya hanya permintaan maaf dan ucapan terima kasih telah menemani selama enam tahun belakangan, tidak ada yang spesial.
Aku bahkan nggak tahu alasanmu menolakku saat itu.
Di saat aku selesai membaca semuanya, ada satu pesan dari kakakmu yang juga belum aku buka ternyata.
Kedekatan kami berdua memang cukup hangat, kakakmu yang dulu paling ngebet agar aku segera menikahimu.
Aku hanya menebak kalau pesan dari kakakmu adalah ucapan terima kasih juga, sama seperti pesanmu yang aku rasa hanya formalitas belaka.
‘Adikku sudah menikah kemarin. Terima kasih, ya, sudah menjaganya. Jujur, kau adalah pria yang baik.’
Pesan dari kakakmu membuatku tersentak.
Secepat itukah kau melupakan semua memori yang pernah kita bangun?
Semudah itukah kau menerima orang lain dalam hidupmu setelah melalui proses panjang bersamaku?
Tapi, benakku hanya kesal untuk beberapa menit saja.
Setelah tahu kalau kamu sudah menikah, aku mencari tahu nomor teleponmu.
Tentu saja bukan untuk menanyakan kenapa secepat itu dan lain-lain, aku hanya ingin memberi selamat.
Aku menyadari kalau bukan cincin pemberianku yang akan kau kenakan di tanganmu yang cantik, juga bukan senyumku yang akan kau lihat setiap pagi.
Ternyata, bukan diriku orangnya.
Dengan menahan air mata, aku mulai mengetik pesan selamat untukmu.
‘Selamat sudah menemukan orang yang lebih baik dariku!’