‘Jangan ganggu hari Mingguku!’
Barusan adalah kalimat yang selalu aku ucapkan kepada orang lain ketika mereka mengajakku untuk bercengkrama.
‘Aku sudah punya janji dengan Kara.’
Bersahabat dengan sosok yang sudah sejak lama menemani, tentu sangat pantas untuk meluangkan waktuku sehari saja dengannya.
Semerbak wangi parfumnya ketika keluar dari gerbang rumah adalah taktik mengawali hari yang begitu manis.
Senyuman lebar dan pipi yang memerah juga menjadi alasan yang membuat diri ini tak pernah lelah untuk selalu ada di setiap dia membutuhkan.
Aku sadar, kalau Kara hanya menganggapku tak lebih dari sekedar pendengar yang baik, pelawak yang lucu, atau sekedar teman semasa kecil.
Aku tak peduli.
Gelak tawa Kara saat merespon humor-humor receh dariku sudah lebih dari cukup.
Antusias Kara saat bercerita tentang pria-pria yang banyak mendekatinya dan meminta tips memilih pasangan yang baik sudah lebih dari cukup.
Omelan dan kekesalan Kara saat aku telat menjemputnya untuk pergi makan malam bersama sudah lebih dari cukup.
Sampai tiba saat Kara memberitahu kalau dia akan menikah, aku bertanya kembali pada hati kecil — apa ini juga sudah lebih dari cukup?
‘Jangan lupa datang, ya. Hari Minggu. Kamu bisa kan?’
‘Selamat dan bahagia selalu. Bukankah sudah kubilang dari awal, tidak akan ada yang mengganggu hari Mingguku. hehe.’
Pada akhirnya komedi yang aku lanturkan padamu, yang tadinya membuat tawa dan riang gembira — kini menikam dan menyakitkan.
Aku ternyata menyimpan perasaan yang berbeda denganmu.
Izinkan aku kali ini saja untuk menangis, hanya sekali saja.
Setelah aku selesai mengusap air mata, tentu saja aku akan datang ke hari bahagiamu.
Minggu selamanya menjadi perayaan yang spesial.