‘Kenapa harus aku?’
Jujur saja, pernyataanmu memecah keheningan.
Di tengah ramainya kedai kudapan favorit kita malam ini, aku baru saja mengakui kalau aku menyukaimu.
Maafkan kalau suasananya kurang tepat. Namun, hati nurani juga nggak bisa berlama-lama sembunyi dibalik tameng ‘takut akan penolakan’.
Tenanglah! Aku tidak akan menjauh satu milimeter pun kalau kau bilang sebaiknya kita berteman seperti ini saja.
Nasi goreng kambing yang aku santap menjadi hambar, rasanya aku ingin pulang saja setelah mengatakan hal yang hanya membuatku tersipu malu.
Apa kau juga merasakan hal yang sama?
Pertanyaanmu barusan kutelan mentah-mentah selama beberapa waktu.
Aku mencoba menemukan jawaban secepat mungkin, tapi… tetap saja nihil.
‘Emm, nggak tau. Emang perasaan bisa kita atur?’ jawabku
‘Bukannya banyak cewek yang lebih seru dan menyenangkan buat diajak ngobrol dibanding aku?’ balasmu lagi
Walaupun kau memang membosankan, cuek, dan phobia akan segala hal yang berbau romantis — kau justru membuatku terpaku dan selalu ingin kembali melihat bola matamu yang cantik itu.
Lampu-lampu di persimpangan jalan menuju rumahmu adalah teman setia bahwa betapa dirimu adalah tokoh utama dalam sebuah pertunjukan yang selalu kutunggu.
Lambaian tanganmu setelah aku mengantarmu pulang adalah alasan paling kuat bahwa betapa kau adalah lagu terbaik dalam sebuah album paling mewah yang pernah kudengarkan.
Tawamu yang renyah saat mendengar celotehan konyolku adalah saksi abadi bahwa betapa kau adalah ruangan paling nyaman dari sebuah istana yang megah.
Ucapan selamat malam darimu adalah wahana paling seru dalam sebuah taman bermain yang ramai.
Rambut hitammu yang terurai panjang itu adalah visual paling ajaib yang pernah mataku saksikan sepanjang hidup.
‘Jadi, kenapa mesti orang lain?’