Masih ada kesempatan! ujarku percaya diri.
Aku menatap kosong layar laptop setelah tahu kalau aku gagal lolos tes.
Ikut tes beasiswa di kesempatan yang terakhir, membuatku mengeluarkan semua kemampuan yang kubisa, dan tentu saja berdoa. Walau hidup selalu terasa nggak adil, aku masih percaya campur tangan Tuhan dan datangnya nasib yang baik.
Setelah termenung selama lima belas menit, aku mengambil dompet dan bergegas keluar rumah.
Aku membuka dompet yang sudah kupakai sejak SMA itu, dan terlihat cuma ada dua lembar uang 5000. Sial, aku bahkan nggak bisa membeli sebungkus nasi padang.
Tabungan sebenarnya masih ada, hasil dari menjual motor tua peninggalan ayahku. Meski aku sebetulnya nggak tega, tapi aku juga nggak punya pilihan lain — aku lebih memilih untuk terus hidup dan meninggalkan satu-satunya memori yang tak ternilai harganya.
Hidupku nggak pernah istimewa, sehari-hari mencari uang dari mengajar kursus anak-anak yang ingin belajar fisika dasar.
Aku memakai topi dan menutup pintu rumah, cuaca di luar tampak lebih panas dari biasanya. Entah kemana langkah ini dibawa pergi, semoga ada ketenangan saat aku kembali masuk ke rumah dan mencoba berjuang lagi untuk kesekian kalinya.
Aku menyusuri jalan dan melamun kosong.
‘Cuaca hari ini bagus banget. Awannya juga jadi keliatan menarik, mungkin karena hujan deras kemarin jadi polusi nya menurun, kali ya?’
‘Iya, untung banget kemarin hujan. Gue jadi nggak masuk kantor dan dikasih WFH, deh.’
Dua orang yang terlihat seusia denganku itu asik berbincang sambil melahap es krim yang sedang viral di kota ini. Mereka tertawa sambil duduk di sebuah bangku di depan gedung pencakar langit.
Hujan kemarin membawa berkah untuk mereka, syukurlah.
Tak terasa sudah jauh aku berjalan, kaki mulai terasa pegal dan kuputuskan untuk kembali ke rumah saja.
Aku kembali menatap layar laptop dan melihat hasil tes tadi — ternyata ini nyata, aku gagal dan takdir ini nggak akan pernah berubah.
Rasanya seperti berada di lorong sendirian, dan setiap inci dari lorong ini menusukku dengan pisau. Aku melihat diriku sendiri jatuh dan terbaring tak berdaya.
‘Ah, netes lagi, rupanya.’ ujarku tersadar dari lamunan (lagi).
Suara itu muncul dari plafon rumah yang bocor karena hujan deras kemarin, dan sampai nggak tidur untuk menadahnya karena takut akan membuat seisi rumah tergenang.
Aku membuang ember yang sudah terisi penuh dan menaruhnya kembali untuk menghalangi tetes air yang masuk.
Hari ini aku jadi ada kegiatan setidaknya daripada kembali melamun dan larut dalam kekecewaan yang tiada habisnya, terima kasih berkat hujan deras kemarin.