biru

ihsan
2 min read6 days ago
Photo by Geraldine Lewa on Unsplash

‘Biru, karena biru adalah warna hitam yang baru.’

Itu adalah jawabanmu dari pertanyaanku tentang warna favorit saat kita sedang berteduh di kantin kampus sore itu. Cukup aneh sebagai pertanyaan pembuka dua orang yang baru saja berkenalan.

‘Oh, ya? Kenapa?’

Kamu tiba-tiba bergegas meminum kopi yang sudah dingin itu dan beranjak pergi. Aku nggak kesal, itu tandanya kamu berhutang jawaban denganku.

Dan, pertemuan kita tadi harusnya bukan yang terakhir.

Dini hari pukul dua, aku terlamun di atas kursi rotan yang sudah tak kuat menahan beban yang berat — masih saja keras kepala dan sesekali membayangkan akhir yang sempurna dari cerita yang belum nyata.

Resah, gelisah, aku terlalu dalam masuk ke angan-angan dan mencoba mencerna arti dari kalimatmu tadi sore.

Apakah langit cerah yang muncul sehabis mendung yang gulita?

Aku ingin setuju tapi rasa bahagia yang muncul beberapa hari belakangan ini mekar dibawah langit yang gelap dan samar.

Tak pernah terbayangkan kalau aku bisa merasakan perasaan ini lagi setelah sekian lama. Aku merasa terbang tinggi padahal sedang deras-derasnya hujan membasahi, kencang-kencangnya angin membawa daun kering terhempas.

Entah mengapa, saat itu… hitam tampak jauh lebih indah.

Aku menyimpan tanya dan memutuskan untuk tahu sendiri jawabannya saat kita bertemu lagi.

‘Harusnya sih dia ke kantin lagi, soalnya sekarang jam makan siang.’

Aku buru-buru keluar kelas setelah jam pelajaran selesai dan mencarimu.

Maaf kalau terlihat amatir, karena satu-satunya yang kutahu darimu hanya nama panggilanmu saja. Aku ingin tahu lebih dalam lagi, sekarang.

Lima menit kemudian, kamu akhirnya muncul bersama seseorang yang aku kira hanya teman.

Aku mengurungkan niat untuk menyapa dan hanya bisa melihatmu dari kejauhan.

Aku berbalik badan dan menghabiskan jam makan siang dengan memerhatikan sekeliling saja. Celotehan mahasiswa berdiskusi tentang tugas, suara ibu kantin menyapa, hingga suara notifikasi handphone ku yang berbunyi membuyarkan lamunanku barusan.

Sudah masuk kelas lagi rupanya.

Aku berjalan meninggalkan kantin tapi mataku tak bisa berbohong — aku masih berharap binar matamu itu melihatku lagi walau hanya satu detik.

Sayangnya, tak terjadi.

Dini hari pukul dua, aku kembali melamun di atas kursi rotan yang sudah tak kuat menahan beban yang berat — masih saja keras kepala.

Aku berpikir dan perlahan menemukan jawabannya.

‘Jika kesedihan adalah hitam, maka biru adalah kebahagiaan.’

Hitam yang terjadi untukku bukanlah perasaan yang kecewa, tapi hati yang berharap orang lain menderita dan memaksa egonya menjadi nyata.

Hitam yang terjadi untukmu adalah melanjutkan obrolan denganku sore itu.

Kalau kamu bahagia dengan pilihanmu, maka perasaan mengharu biru ini adalah rasa yang sama karena biru adalah hitam yang baru.

Biru adalah spektrum yang merefleksikan suka cita dan perasaan yang menerima — ibarat laut yang tenang.

Biru adalah caraku mendoakan segala hal yang kau inginkan tercapai karena melihat indahnya senyum manismu adalah skenario yang sempurna, meski bukan aku penyebabnya.

--

--