aku, ya.. aku.

ihsan
2 min readSep 23, 2022

--

Photo by Patrick Hendry on Unsplash

Dilahirkan ke dunia ini adalah kombinasi keajaiban dan kecelakaan.

Saat roh kita ditiup kemudian membentuk menjadi gumpalan darah dan daging, kemudian disempurnakan menjadi seorang manusia, kita semua punya tugas dan resiko yang harus ditanggung kalau gagal.

Masa kanak-kanak seharusnya menjadi masa yang paling menyenangkan. Dan, gue sadar itu saat gue udah beranjak dewasa. Saat gue masih kecil, gue selalu pengen jadi orang lain. Mulai dari superhero yang gue tonton di televisi, karakter protagonis di komik, pemain sepakbola favorit, atau dari yang terdekat, menjalani hidup pengen seperti bokap gue kelak.

Angan-angan itu terus gue pegang sampai bertemu dengan gerbang besar bernama kedewasaan. Gerbang itu dijaga oleh dua hal yang bertolak belakang ; kebahagiaan dan kesedihan.

Ketika gue memutuskan untuk masuk, kebahagiaan berkata,

‘Hei, tak perlu kau beritahu kepadaku kau ingin memilih siapa, jawabannya sudah pasti aku. Tapi, pertanyaanku adalah : pantaskah dirimu aku kawal dan menemanimu selama kau berada di fase dewasa?’

Gue menjawab kalau gue belum pantas.

Kebahagiaan kembali bertanya,

‘Kalau begitu, maukah kau ditemani oleh kesedihan terlebih dahulu, anak muda?’

‘Kelak, kalau kau betah dengannya, kau akan terbiasa dan dengan senang hati aku akan datang menjemputmu.’

Gue bertanya dalam hati, apa memang seperti ini cara untuk memasuki gerbang?

Ketika gue baru ingin memutuskan pilihan, kesedihan bilang kalau gue sekarang bukanlah diri gue yang sebenarnya. Masih ada yang mengganjal di hati kecil gue, katanya.

Kesedihan lalu berkata,

‘Hei anak muda, katakan saja apa yang masih kau pendam di hatimu.’

Gue terdiam dan membisu. Gue berusaha dengan keras untuk gak pengen mengungkapkan hal itu. Seenggaknya, gak di depan mereka. Gue akan dengan mentah-mentah diludah dan ditendang keluar, dan butuh waktu yang lama buat gue bisa kembali berdiri di depan gerbang ini. Tapi, hati nurani memang gak bisa dilawan, gue bakal ngomong.

‘Aku selalu ingin jadi orang lain. Tapi, kulakukan itu bukan tanpa alasan, waktu kecil, memang aku sendiri yang ingin, tapi beranjak remaja kedua orangtuaku ingin menjadikanku seperti orang yang lain, dan itu adalah ; aku harus menjadi seperti anak ranking 1 di sekolah, aku harus menjadi anak yang pintar matematika, dan aku harus menjadi anak yang selalu mendengar apa yang mereka perintah, walau kadang tak sesuai dengan kemauanku.’

Gue udah ungkapin semuanya. Semoga, jawaban gue memuaskan mereka.

Kesedihan lalu tertawa dan berkata,

‘Sudah seperti yang aku kira, anak muda.’

‘Jutaan manusia memiliki isi hati dan pikiran yang sama denganmu, mereka tak ingin menjadi diri sendiri. Kalau begitu kemarilah, ikut denganku.’

Gerbang itu kemudian terbuka. Tapi, gue masuk bukan dengan jalan yang gue pilih. Akhirnya gue sadar, kalau gue dilahirkan di dunia ini bukanlah untuk mengikuti takdir dan hidup orang lain, gue punya jalan dan waktu sendiri untuk bisa sukses melaksanakan tugas gue sendiri di dunia.

Gue pun tersenyum dan dengan senang hati memasuki kedewasaan ditemani oleh kesedihan.

Dan setelah gue terbiasa dan sudah siap, kebahagiaan menunggu gue disana.

--

--

ihsan
ihsan

Written by ihsan

a heartbreak lover probably?

Responses (1)